Museum Pusaka Karo Memikat Wisatawan Mancanegara
Museum Pusaka Karo |
Kota Berastagi
tak hanya mengandalkan keindahan alam Bukit Gundaling dengan ciri khas kuda
sebagai sarana angkutan wisata guna menarik minat wisatawan. Melainkan Kota
Berastagi berupaya menarik minat wisatawan dengan menampilkan salah satu
desteni wisata yang bukan pesona alam. Apakah itu? Tak lain dan tak bukan
adalah Museum Pusaka Karo yang merupakan kiblat peradaban Suku Karo.
Bentuk bangunan
Museum Pusaka Karo cukup unik dan tak sebagaimana umumnya bangunan museum.
Pasalnya, dulu gedung museum ini adalah Gereja Katolik yang berubah fungsi jadi
Museum Pusaka Karo. Museum Pusaka
Karo berada di lokasi strategis, tepatnya di Jalan Perwira No.3 Kota Berastagi,
Kabupaten Karo. Berdekatan dengan Plaza Telkom dan kantor Tourist Information
Centre serta Pasar Buah Buah Berastagi.Sebenarnya, Museum
Pusaka Karo dikategorikan museum swasta (privat museum) di mana sama sekali tak
dikelola Pemerintah Kabupaten Karo. “Berdirinya museum Pusaka Karo ini digagas
oleh seorang Pastor Belanda bernama Joosten Leonardus Egidius yang sudah
menetap selama 45 tahun di Indonesia,” kata Petugas Museum Kriswanto Ginting
(30) kepada penulis belum lama ini di Museum
Pusaka Karo. Meski Museum Pusaka Karo bukan milik pemerintah, namun
pembukaannya diresmikan atas nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Berbasis Seni dan Budaya, Prof.DR.HM.Ahmansyah pada tanggal 9 Pebruari 2013
lalu dan sekaligus diberkati Uskup Agung Medan, MGR.Anicetus B.Sinaga.OFM.CAP.
Museum Pusaka
Karo selain dikunjungi turis nusantara, juga dikunjungi turis mancanegara,
antara lain dari Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, Belgia, Inggeris dan
Amerika. “Tapi, lebih banyak turis dari Jerman berkunjung ke museum ini,” ujar
lelaki berkaca minus yang memiliki ibu berasal dari Solo ini.
Uniknya lagi,
setiap wisatawan berkunjung ke Museum Pusaka Karo tak dipungut bayaran alias
gratis. Tapi, di museum ini disediakan kotak terbuat dari kaca transparan di
atas sebuah meja. Kegunaan kotak berukuran cukup besar ini untuk apa ya?
Ternyata museum yang sangat bersih dan tertata rapi ini menerima donasi secara
sukarela dari pengunjung. “Kami menerima donasi dari pengunjung yang sifatnya
tak memaksa. Berapa pun jumlahnya, kami terima dengan senang hati dan bisa
langsung dimasukkan melalui lobang pada kotak ini,” kata Kriswanto sembari
menunjuk kotak donasi yang di dalamnya berisi beberapa lembaran uang kertas
pecahan Rp 5000, Rp 10.000 dan Rp 20.000. Dia juga mengungkapkan, museum yang
buka mulai pukul 8.30 WIB hingga pukul 16.30 WIB ini, mempekerjakan 3 orang
petugas museum termasuk dirinya sendiri.
Tempat Penelitian
Memuliakan
Kebudayaan melalui Museum, agaknya tak berlebihan motto Museum Pusaka Karo.
Maka tak pelak, tujuan museum ini dibangun adalah guna melestarikan,
mengembangkan, merawat dan sekaligus mempublikasikan Kebudayaan Karo.Keberadaan
Museum Pusaka Karo dapat dijadikan sebagai acuan guna menggali kekayaan Budaya
Karo dimasa lalu. Betapa tidak, banyak benda-benda dipajang di museum ini berusia
ratusan tahun, yakni dibuat mulai tahun 1800. Mulai dari Pustaka Lak-lak
berbentuk buku terbuat dari kulit kayu beraksara Karo asli berisi mantra-mantra
yang ditulis dengan tinta dari getah kayu. Pustaka Lak-lak ini terdiri dari
banyak buku berukuran kecil, sedang hingga ukuran besar. Buku-buku yang masih utuh
ini, kata Kriswanto, dulu sempat dibawa Belanda dari Tanah Karo. Kemudian
dibawa kembali ke Tanah Karo setelah ditemukan di Belgia. ”Pastor Joosten
Leonardus Egidius yang membawa buku-buku bersejarah ini dan dipajang di Museum
Pusaka Karo ini,” kata Kriswanto lagi.
Menurut
Kriswanto, selain Pustaka Lak-lak sering menjadi pusat perhatian pengunjung,
juga Padung-padung dan Tungkat Malaikat. Padung-padung atau anting-anting Karo
yang terbuat dari perak berbobot cukup berat, dipergunakan sebagai hiasan pada
pesta-pesta adat. Ukuran Padung-padung ini, mulai dari ukuran kecil, ukuran
sedang hingga ukuran besar. Sedangkan Tungkat Malaikat terbuat dari kayu yang
diukir, ditambah bulu ayam, benang benalu tiga warna, mulai merah, hitam dan
putih. Panjang Tungkat Malaikat ini sekitar 150 cm yang kegunaannya untuk
mengguncang desa Ngankari. Tungkat Malaikat hanya dipergunakan oleh dukun
mengusir roh-roh jahat. Konon katanya, Tungkat Malaikat ini tak boleh
dipergunakan di daerah yang tergenang air (taneh mati).
Kemudian
Amak Mbelang (tikar) terbuat dari daun pandan berduri yang dianyam, Amak Cur,
Gung dari perunggu, Pisau Tumbak Lada, Timbangan Emas, Kulcapai, Gendang
Singindungi, Naga Marsarang, Senjata Api Laras Panjang, Tagan Kicik, Pinggan
Pasu, Manca-manca, Sempul-sempul, Buli-buli, Raga Dayang-dayang, Petak, Kala
Kati, Kampil, Tutu-tutu, Roka, Perlebeng, Baka Tutup, Ukat, Nutu Lesung, Kudin
Gelang yang konon usianya sudah ratusan tahun. Tentu, ratusan lagi jumlah benda
peninggalan sejarah Budaya Karo terpajang rapi di dilantai satu dan lantai dua
Museum Pusaka Karo yang amat menarik dilihat bahkan ditelusuri dan diselami
guna memperkaya pengetahuan tentang keparipurnaan budaya bangsa. Juga di museum
ini tersedia bermacam souvenir yang dapat dibeli dengan harga terjangkau.
Meski
usia Museum Pusaka Karo terbilang muda, namun kenyataannya dijadikan sebagai
tempat penelitian sejarah budaya oleh mahasiswa dari berbagai daerah di
Indonesia. Mulai dari mahasisawa USU Medan, Universitas Negeri Medan, Universitas
Katolik Medan, Universitas Panca Budi Medan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta
dan ISI Yogyakarta. “Mahasiswa-mahasiswa itu berdatangan guna melakukan
penelitian terhadap benda-benda bersejarah di museum ini untuk materi pembuatan
skripsi. Juga tak ketinggalan rombongan pelajar dari berbagai daerah
mengunjungi museum ini,” ungkap Kriswanto bangga.
Itulah
keberadaan Museum
Pusaka Karo. Di usianya masih relatif muda, mampu menarik minat wisatawan
nusantara, terlebih wisatawan mancanegara. Tentu, perhatikan dan dukungan konkrit pemerintah sangat dibutuhkan. Tak perlu dilirik sebelah mata keberadaan Museum Pusaka Karo. Sebab suka tak suka, harus diakui, Museum Pusaka Karo hadir sebagai
salah satu aset bangsa
yang dapat diandalkan menggaet wisatawan di
Tanah Karo Si Malem. (Jansen Napitupulu)