KPK Catat Sejumlah Permasalahan Pengelolaan Aset di Kepri
Sinarkepri.co.id.Tanjungpinang-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat masih adanya
sejumlah persoalan terkait pengelolaan aset daerah di Provinsi Kepulauan Riau. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli
Siregar, yang dihubungi di Tanjungpinang, Senin, mengatakan, permasalahan itu
disampaikan saat melakukan monitoring dan evaluasi atas capaian program
koordinasi supervisi pencegahan terintegrasi tahun 2019 di Kepri.
Beberapa permasalahan aset
pemerintah daerah di Kepri antara lain terkait konflik kepemilikan aset antar
pemda, BP Batam, dan BUMN. “Selain itu, aspek legalitas juga
sangat penting. KPK menemukan aset-aset yang bersumber dari hibah bekas BUMN,
perusahaan, instansi vertikal atau dari belanja pemda, tidak memiliki bukti
kepemilikan,” katanya. Kondisi tersebut, tambahnya
meningkatkan potensi penguasaan aset berupa tanah, properti maupun kendaraan
dinas oleh pihak ketiga baik perorangan, yayasan ataupun perusahaan. KPK juga
menemukan pelaksanaan pinjam pakai BMD atau aset pemda yang tidak sesuai dengan
ketentuan.
Menyikapi sejumlah persoalan
tersebut, KPK mendorong seluruh pemda di Kepri untuk serius menanganinya. "KPK akan mengawal secara
cermat dan memastikan bahwa komitmen pembenahan tata kelola pemerintahan daerah
se-provinsi Kepri dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berkelanjutan
serta bebas dari intervensi yang tidak sah dari pihak manapun,” tegas
Lili. Sejumlah rencana aksi telah
ditetapkan dan sudah dilakukan sejak 2019 yang akan dilanjutkan tahun ini. Di
antaranya KPK akan memfasilitasi pertemuan antara pihak yang berkonflik dalam
kepemilikan aset. KPK juga akan melakukan koordinasi dengan Kementerian terkait
regulasi dan pencatatan aset yang berasal dari hibah.
Selain itu, lanjutnya KPK juga
mendorong pemda untuk melakukan penarikan aset yang dikuasai oleh pihak ketiga
melalui cara-cara persuasif maupun dengan bekerja sama kepada Asdatun Kejaksaan
melalui proses hukum perdata dan pidana. Terkait perjanjian pinjam pakai aset
BMD, KPK meminta pemda agar mengacu pada aturan yang berlaku dengan menertibkan
administrasi pinjam pakai terutama yang sudah habis masa berlakunya. (diskominfo
kepri)
================================================================================
Sinarkepri.co.id.Tanjungpinang-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mencatat "Monitoring for Prevention (MCP) 2019 di Provinsi Kepulauan
Riau mencapai 73 persen, yang menempatkan wilayah ini pada peringkat
ke-16 dari 34 provinsi."Rata-rata nasional 68 persen. Dari delapan pemda di
Kepri, empat pemda mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018, yaitu
Pemprov Kepri 89 persen, Pemkab Kepulauan Anambas 76 persen, Pemkab
Natuna 75 persen, dan Pemkot Tanjungpinang 68 persen," kata Wakil Ketua
KPK, Lili Pintauli Siregar, yang dihubungi di Tanjungpinang, Senin.
================================================================================
KPK:
Capaian MCP 2019 Kepri 73 persen
Sedangkan empat pemda lainnya, tsmbah dia mengalami
penurunan yaitu Pemkot Batam 75 persen, Pemkab Karimun 77 persen, Pemkab
Bintan 64 persen, dan Pemkab Lingga 60 persen.
"Rincian capaian untuk delapan area intervensi masing-masing pemda dapat diakses melalui www.korsupgah.kpk.go.id," ujarnya. Permasalahan yang terjadi di Kepri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi KPK, menurut dia berhubungan dengan pengelolaan aset daerah, termasuk lambatnya proses sertifikasi. Hingga akhir 2019, penyelesaian sertifikasi di Kepri hanya berkisar 12,50 persen atau rata-rata delapan sertifikat dari rata-rata target yang ditetapkan sebanyak 60 sertifikat.
Namun, sepanjang tahun 2019 KPK tetap mendorong pemda untuk melakukan sertifikasi untuk menghindari berpindah tangannya aset karena tidak memiliki legalitas. Dari nilai aset yang ditertibkan, wilayah Kepri telah melakukan penertiban sebanyak 1.049 aset senilai total Rp1,1 triliun dari total 4.646 bidang aset atau 22 persen yang telah disertifikasi. Kontribusi terbesar di antaranya dari Karimun dengan nilai aset Rp292 miliar dan Natuna senilai Rp266 miliar," katanya.
Lili mengemukakan, selama 2019, Kepri juga telah menyelamatkan Rp20,8 miliar dari total nilai aset yang bermasalah yaitu Rp126,5 miliar atau sekitar 16 persen. Nilai tersebut diperoleh dari penyelamatan 91 aset dari total 328 aset dalam sengketa.
Persentase penyelamatan nilai aset terbesar dilakukan oleh Pemkot Batam. Meski dari jumlah hanya tercatat 6 aset yang diselamatkan Pemkot Batam, namun nilai aset-aset tersebut tinggi.
Terkait optimalisasi penerimaan daerah (OPD), terjadi peningkatan penerimaan yang signifikan di beberapa daerah dari pajak hotel, restoran, hiburan, dan parkir. Realisasi penerimaan tercatat sebesar Rp317 Miliar atau rata-rata naik 16,93 persen dari penerimaan tahun 2018. Kenaikan penerimaan ini hanya dari 3 pemda di Kepri yaitu Pemkot Tanjungpinang, Pemkot Batam dan Pemkab Bintan.
Peningkatan ini kontribusi dari pemasangan 635 alat perekam pajak online. KPK juga mencatat komitmen yang tinggi dan evaluasi berkala dalam implementasi integrasi sistem monitoring penerimaan pajak daring sejak awal menjadi pemicu peningkatan tersebut.
Implementasi integrasi "host to host" PBB dan BPHTB antara pemda dengan BPN pada 6 daerah di Kepri juga menunjukkan adanya peningkatan BPHTB rata-rata sebesar 17,10 persen dengan total nilai Rp405 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 yakni Rp346 miliar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa proses integrasi database transaksi pertanahan yang mulai diimplementasikan di beberapa pemda sudah menunjukkan hasil. Meskipun, untuk PBB terjadi penurunan rata-rata sebesar 0,16 persen menjadi Rp194 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 dengan total Rp195 Miliar. "Kehadiran MCP sejatinya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membangun suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk memahami elemen-elemen risiko korupsi. Elemen tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan sektor, wilayah, atau instansi yang rentan terhadap korupsi dan menerjemahkan pemahaman tersebut menjadi gambaran strategis dan prioritas rekomendasi yang akan memberikan arahan bagi upaya pencegahan korupsi," katanya. (diskominfo kepri)
"Rincian capaian untuk delapan area intervensi masing-masing pemda dapat diakses melalui www.korsupgah.kpk.go.id," ujarnya. Permasalahan yang terjadi di Kepri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi KPK, menurut dia berhubungan dengan pengelolaan aset daerah, termasuk lambatnya proses sertifikasi. Hingga akhir 2019, penyelesaian sertifikasi di Kepri hanya berkisar 12,50 persen atau rata-rata delapan sertifikat dari rata-rata target yang ditetapkan sebanyak 60 sertifikat.
Namun, sepanjang tahun 2019 KPK tetap mendorong pemda untuk melakukan sertifikasi untuk menghindari berpindah tangannya aset karena tidak memiliki legalitas. Dari nilai aset yang ditertibkan, wilayah Kepri telah melakukan penertiban sebanyak 1.049 aset senilai total Rp1,1 triliun dari total 4.646 bidang aset atau 22 persen yang telah disertifikasi. Kontribusi terbesar di antaranya dari Karimun dengan nilai aset Rp292 miliar dan Natuna senilai Rp266 miliar," katanya.
Lili mengemukakan, selama 2019, Kepri juga telah menyelamatkan Rp20,8 miliar dari total nilai aset yang bermasalah yaitu Rp126,5 miliar atau sekitar 16 persen. Nilai tersebut diperoleh dari penyelamatan 91 aset dari total 328 aset dalam sengketa.
Persentase penyelamatan nilai aset terbesar dilakukan oleh Pemkot Batam. Meski dari jumlah hanya tercatat 6 aset yang diselamatkan Pemkot Batam, namun nilai aset-aset tersebut tinggi.
Terkait optimalisasi penerimaan daerah (OPD), terjadi peningkatan penerimaan yang signifikan di beberapa daerah dari pajak hotel, restoran, hiburan, dan parkir. Realisasi penerimaan tercatat sebesar Rp317 Miliar atau rata-rata naik 16,93 persen dari penerimaan tahun 2018. Kenaikan penerimaan ini hanya dari 3 pemda di Kepri yaitu Pemkot Tanjungpinang, Pemkot Batam dan Pemkab Bintan.
Peningkatan ini kontribusi dari pemasangan 635 alat perekam pajak online. KPK juga mencatat komitmen yang tinggi dan evaluasi berkala dalam implementasi integrasi sistem monitoring penerimaan pajak daring sejak awal menjadi pemicu peningkatan tersebut.
Implementasi integrasi "host to host" PBB dan BPHTB antara pemda dengan BPN pada 6 daerah di Kepri juga menunjukkan adanya peningkatan BPHTB rata-rata sebesar 17,10 persen dengan total nilai Rp405 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 yakni Rp346 miliar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa proses integrasi database transaksi pertanahan yang mulai diimplementasikan di beberapa pemda sudah menunjukkan hasil. Meskipun, untuk PBB terjadi penurunan rata-rata sebesar 0,16 persen menjadi Rp194 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 dengan total Rp195 Miliar. "Kehadiran MCP sejatinya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membangun suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk memahami elemen-elemen risiko korupsi. Elemen tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan sektor, wilayah, atau instansi yang rentan terhadap korupsi dan menerjemahkan pemahaman tersebut menjadi gambaran strategis dan prioritas rekomendasi yang akan memberikan arahan bagi upaya pencegahan korupsi," katanya. (diskominfo kepri)