Keterangan Poto: Aktivis Kemanusiaan Batam Serukan Kewaspadaan Digital untuk Lindungi Anak dan Keluarga. (foto/JMSI)

Keterangan Poto: Aktivis Kemanusiaan Batam Serukan Kewaspadaan Digital untuk Lindungi Anak dan Keluarga. (foto/JMSI)

Aktivis Kemanusiaan Batam Serukan Kewaspadaan Digital untuk Lindungi Anak dan Keluarga

Muhammad Ikhsan

Editor Muhammad Ikhsan

Kamis, 17 Juli 2025 | 20:21 WIB

Keterangan Poto: Aktivis Kemanusiaan Batam Serukan Kewaspadaan Digital untuk Lindungi Anak dan Keluarga. (foto/JMSI)

Keterangan Poto: Aktivis Kemanusiaan Batam Serukan Kewaspadaan Digital untuk Lindungi Anak dan Keluarga. (foto/JMSI)

Sinarkepri.co.id Batam – Romo Chrisanctus Paschalis (Romo Paschal), seorang Aktivis kemanusiaan terkemuka di kota Batam, menyuarakan himbauan kepada orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bahaya di era digital saat ini.

Peringatan ini di khususkan untuk melindungi anak-anak, saudara, dan warga sekitar dari ancaman yang kian nyata di dunia maya.

Peringatan Romo Paschalis ini bukan tanpa alasan. Beliau mengungkapkan bahwa imbauan ini disampaikan karena maraknya kasus anak muda dari Batam dan Kepulauan Riau (Kepri) yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Para korban ini seringkali terjebak dalam sindikat penipuan online (scam) dan industri penipuan berbasis daring yang beroperasi di luar negeri, khususnya di Kamboja.

Hal ini disampaikannya saat memberikan penyuluhan kepada warga Kecamatan Batu Ampar dalam kegiatan Sosialisasi dan Penyuluhan Kewaspadaan Dini Masyarakat, Penjaringan Informasi, serta Edukasi Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) oleh FKDM Kota Batam, berlangsung di Kantor Kecamatan Batu Ampar, Rabu (16/7/2025).

“Hati-hati, Bapak dan Ibu. Di lingkungan tempat kita tinggal pun bisa terjadi kasus TPPO yang melibatkan sindikat perdagangan orang,” ujar Romo Paschal.

Romo Paschal menyebutkan, tercatat lebih dari 130 remaja telah menjadi korban TPPO, penipuan cinta (love scamming), dan industri penipuan online yang beroperasi di sekitar 10 negara, seperti Kamboja dan Filipina. Modusnya adalah menawarkan pekerjaan ringan di depan komputer dengan iming-iming gaji Rp15–20 juta per bulan.

“Sesampainya di sana, anak-anak kita dilatih untuk menipu warga Indonesia dengan target ratusan juta rupiah per hari. Mereka dipaksa meraup uang hingga Rp500 juta dalam sehari. Jika tidak tercapai, mereka akan disiksa, disetrum, tidak diberi makan, bahkan dikurung di ruang khusus,” ungkap Romo Paschal.

Lebih miris lagi, para korban tidak bisa kembali ke Indonesia begitu saja. Mereka diminta membayar tebusan sebesar Rp50 juta, atau diwajibkan merekrut lima orang WNI sebagai pengganti. Jika gagal, mereka bisa dijual ke kelompok sindikat TPPO lain.

“Bapak Ibu, jangan pernah izinkan anak atau warga kita pergi bekerja ke luar negeri hanya bermodal paspor. Bisa jadi mereka menjadi korban. Mari kita cegah bersama-sama,” tegasnya.

Romo Paschal juga mengingatkan pentingnya mengawasi aktivitas anak di media sosial. Banyak kasus TPPO bermula dari komunikasi di dunia maya, mulai dari mengirim foto biasa hingga akhirnya menjadi korban love scamming.

“Awalnya hanya kirim foto atau video biasa, lalu dikirimi uang. Karena merasa mendapat penghasilan, anak-anak itu menurut saja. Lama-lama diminta foto tanpa busana, atau bahkan live video yang kemudian dijual ke situs-situs tertentu. Kalau menolak, mereka diancam akan disebarluaskan. Ini sangat berbahaya dan harus menjadi perhatian kita semua,” tambahnya.

Lebih ironis, kata Romo Paschal, pelaku yang merekrut anak-anak Indonesia untuk bekerja di industri penipuan online justru adalah WNI yang menetap di luar negeri.

“Jika ada informasi mengenai WNI yang menjadi korban TPPO atau penipuan online di Kamboja, Filipina, dan negara lainnya, segera hubungi saya sebelum komunikasi terputus, agar bisa langsung kami koordinasikan dengan KJRI setempat,” tutupnya.(***)